Monday, November 14, 2011

Lautan Oranye

Lebak Bulus dan sekitarnya, 30 Januari 2010

Hawa dingin kembali menyelimuti tubuh, air hujan yang sedari tadi membasahi jilbab dan celana jeansku kini telah merembes, menerobos ke serat-serat kain dan kurasakan telah bersentuhan dengan kulit ariku. Dinginnya kurasakan sampai ketulang, ngilu. Andai saja sore ini tak turun hujan, pastinya aku tidak akan menggigil kedinginan seperti ini. Namun sayang, Tuhan telah berkehendak lain.

Beberapa waktu yang lalu, disaat hujan tengah membasahi bumi ini dengan derasnya, aku masih berkendara motor dengan seorang sahabat. Namun kini, aku telah beralih ke sebuah mikrolet berwarna biru, yang didalamnya hanya dapat kutemukan enam anak adam saja. Lima orang penumpang dan seorang sopir. Hawa yang dingin telah membuai mataku dan membuatnya terpejam dalam kurun waktu yang cukup lama. 

”Kiri bang..!!” ucap seorang penumpang pria kepada si empunya mobil. Dan akupun terjaga karenanya. Dengan mata setengah terpejam, kupandangi sekelilingku, dan ternyata penumpangpun telah berkurang. Kulirik arloji yang melekat dilenganku, jarum jam menunjukkan pukul tujuh. “Masih sore”, ucapku dalam hati. Dari sudut tempat dudukku, kulihat seorang ibu paruh baya tengah menggendong putranya yang kutaksir berusia empat tahun. Beberapa menit kemudian anak itu menangis dengan kencangnya, dan terus-terusan memanggil-manggil ayahnya, yang belakangan kuketahui bernama Amin. Meski terus saja menangis, sang ibu tidak pernah sekalipun berkeluh kesah, tetap bersabar dan berusaha untuk menenangkannya. Dengan memanggilnya Tommy, si ibu berusaha membujuk dan merayu agar si buah hatinya itu kembali tenang.

Ku akui, meskipun diluar sana hujan tengah turun sesuka hatinya, namun situasi di dalam mikrolet itu sangatlah sumpek, pengap, dan panas. Mungkin inilah salah satu penyebab mengapa anak tersebut menangis. Kembali kulirik arloji yang masih setia melekat dilenganku, ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. Setengah jam telah berlalu, namun aku masih saja berkutat di depan Plaza 3 Pondok Indah. Itu artinya, aku hanya bergeser sekitar dua kilometer dari lampu merah Pondok Pinang. Ada apa gerangan? Ternyata kemacetan yang parah telah membuat mikrolet yang kutumpangi tidak berdaya. 

Kutebar pandangan keluar jendela kusam mikrolet itu, dan ternyata kemacetan disebabkan oleh kehadiran supporter bola. Hal seperti ini sebenarnya sudah biasa bagi kami yang tinggal di Ibu Kota dan sekitarnya. Namun sepertinya, kemacetan yang sekarang ini adalah kemacetan terparah yang pernah kualami. Tak terbayang, berapa ratus kepala yang tengah berada dijalanan. Dengan mengenakan baju dengan warna yang sama, merekapun seolah menjelma menjadi lautan oranye. 

Sepertinya para supporter ini membentuk beberapa kelompok, ada yang dengan santainya melenggang di jalan raya, ada pula yang memilih berkendara dengan sepeda motor, namun ada juga yang dengan gagap gempita menaiki metro mini atau truk. Dengan berbagai atribut dan peralatan apa adanya, merekapun saling bersahutan meneriakkan yel-yel kebanggannya. Alih-alih membela Tim Sepak Bolanya, akan tetapi yel-yel tersebut kedengarannya justru malah mengolok-olok Tim Lawan. Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Kembali kutebar pandangan keseluruh jalanan, hampir tidak ada ruang kosong, karena jalanan tersebut sudah menjadi lautan manusia. Setelah kucermati, ternyata rata-rata usia para supporter itu sebenarnya tidak kurang dari dua puluh tahun. Bahkan banyak diantaranya kemungkinan adalah para remaja usia SMP dan SMA. Merekapun berteriak-teriak, rusuh.

Rasa was-was mulai menyelimuti pikiranku, berbagai pikiran negatif berlomba-lomba sesaki kepalaku. “Bagaimana jika mobil ini dibajak?” batinku. Para supporter seperti mereka biasanya memang sering mengambil alih kendaraan umum secara paksa, untuk dijadikan sebagai kendaraan pribadi mereka. Tapi alhamdulillah, sampai dengan mikrolet yang kunaiki itu tiba di depan sebuah Supermarket besar di kawasan Lebak Bulus. Pikiran negatifku itu tidaklah menjadi kenyataan.

Kurasakan pegal-pegal mulai menggerayangi sekujur tubuhku. Penat, dan bosan hinggapi benakku. Bagaimana tidak? Satu jam telah berlalu, namun aku belum juga sampai tempat tujuan. Mikrolet yang kutumpangi itu, kini telah turut bergabung dengan barisan didepannya. Terhimpit dari sisi kanan maupun kiri. Dan jika bisa kau bayangkan, barisan tersebut tidak dapat bergeming sama sekali. Entah sudah berapa meter panjangnya.

Sejurus kemudian kudapati seorang penumpang wanita turun tiba-tiba, padahal ia baru saja bergabung denganku kira-kira lima belas menit yang lalu. Jika kuperhatikan, wanita tersebut memilih untuk berjalan kaki. ”Katja, kau harus ikuti wanita itu, berjalan kaki sajalah jika ingin cepat sampai tempat tujuan” Bisik sisi lain dari diriku. Setelah beberapa detik berfikir, akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki saja. 

Setelah bosan menunggu, hujanpun akhirnya reda. Dengan mengumpulkan sejuta nyali, akupun mulai menapakkan kaki di atas tanah yang lembab. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan tanpa tengok kanan dan kiri. Dan tanpa kusadari, aku kini telah turut menyatu dengan lautan oranye. Bau alami tubuh mereka bercampur dengan bau asap rokok dimana-mana membuat perutku merasa mual. Sungguh menyesal aku berada didalam situasi seperti ini.

Seperti tak percaya, namun aku benar-benar telah berada ditengah-tengah kerumunan itu. Dan sepertinya, kehadiranku ini sangat mencolok sekali, karena aku memang tidak sedang menggunakan baju yang senada dengan warna baju mereka. Awalnya aku merasa ngeri, takut, dan was-was. Namun dengan doa mengiringi setiap langkah kakiku, kuyakin bahwa aku bisa melewatinya. Toh, aku bukan satu-satunya non-supporter yang berada dikerumunan itu. Setelah kuperhatikan, ternyata barisan mikrolet yang kunaiki itu terhenti di depan terminal Lebak Bulus. Dengan kata lain, kendaraan didepannya memang tidak jalan sama sekali. Terjebak dalam kemacetan yang benar-benar PARAH. ”Hemm, pilihan untuk berjalan kaki memang sangat tepat” Pikirku.

”Assalamu’alaikum bu”, sapaku pada seorang ibu yang tengah berjalan didepanku. ”Wa’alaikumsalam neng” jawabnya. ”Ibu mau pulang kemana, sendiri saja?” ”Iya neng, saya mau pulang ke daerah Gaplek, neng sendiri pulang kemana?” ”Saya mau ke Pamulang bu, kita jalan bareng saja yuk” ucapku pada ibu itu. Dan si ibupun mengangguk. Rasa takutkupun sirna, setelah aku berbincang dengan beliau. Akupun mengajaknya untuk berjalan kaki sampai Pasar Jum’at. Beliaupun mengangguk tanda setuju.

”Neng mau naik angkot apa?” ”Sepertinya naik angkot D15 bu, langsung ke Pamulang”. Memang biasanya aku jarang naik angkot tersebut, karena rutenya terlalu berputar-putar jika mau kembali kerumah, namun karena situasinya itu. Maka, aku memilih praktisnya saja. ”Yasudah, bareng saja sama ibu”. Sahut si ibu, yang aku sendiri lupa menanyakan namanya. Ah, betapa bodohnya aku. 

Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya diperempatan jalan kami menemukan angkot D15, yang memang sedang berhenti mencari penumpang. Kamipun menaiki angkot tersebut bersama-sama. Tidak lama kemudian, angkotpun melaju hendak mengantarkan kami para penumpang ketujuan masing-masing. Jalanan yang lengang sangat membuat hatiku girang, karena sudah bisa dipastikan aku akan segera sampai rumah. 

”Stop pinggir bang..!!” ucap seorang wanita, yang tidak lain adalah si ibu yang berjalan bersama denganku tadi. ”Ibu turun duluan ya neng”, ”iya bu, hati-hati” sahutku kepada ibu itu. Tak terasa, hari telah larut, rasa kantuk kembali menyerangku dan tanpa sadar, akupun kembali tertidur didalam angkot. Beberapa menit kemudian, aku tersadar dari tidurku, dan mendapati jalanan yang sudah tidak asing lagi dari penglihatanku. Sebuah pertigaan yang sudah nyaris dekat dengan jalanan menuju rumahku. Aku sengaja menunggu sampai angkot itu berada di pemberhentian terakhir, karena memang disanalah seharusnya aku turun. 

Akhirnya, setelah beberapa jam aku lalui dijalan, akupun tiba di depan perumahan yang memang menjadi tujuan terakhirku. Dengan tergesa-gesa kukeluarkan beberapa lembar uang seribuan dari saku celanaku. Kemudian ku jejakkan kakiku ke tanah, seraya memanggil salah satu tukang ojek yang sedang bertugas malam itu. Dan akupun kembali pulang.




No comments:

Post a Comment